PROPOSAL PRODUKSI FILM

PROPOSAL FILM

10/1/20249 min read

Film Adalah salah satu sarana yang sangat tepat dalam menyampaikan sebuah pesan moral tontonan yang penuh tuntunan.

Film juga bisa menjadi sarana Promosi & Publikasi akan segala hal, pencitraan (Barand Image) mulai dari Perorangan, Golongan, Lembaga, Instansi Pemerintah dan Swasta, serta promosi produk.

Dan yang terpenting !

Film bisa menjadi sarana pendidikan yang menghibur bagi Masyarakat, dan melalui Film segala Pesan Moral yang Indah dan penuh makna bisa ditampilkan.

Message

Bagaimana jika orang Jawa di suriname ada adalam sebuah kisah yang di filmkan, menyatukan cerita dua negara, Apakah menjadi menarik sebagai jejak masa silam untuk generasi kini dan mendatang ?

Historical Reference

Orang Jawa Suriname disingkat Jawa-Suriname adalah Suku Jawa yang berada di Suriname sejak akhir abad ke-19, di mana angkatan pertamanya dibawa oleh kolonis Belanda dari Hindia Belanda (sekarang Indonesia). Sebagian keturunan mereka ada yang tinggal di Belanda. Sampai sekarang, mereka tetap menuturkan bahasa Jawa.

Jauh sebelum Pemerintah Republik Indonesia mengirimkan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke luar negeri, Pemerintah Kerajaan Belanda sejak tahun 1890 s/d 1939 telah mengirimkan 32.956 orang tenaga kerja asal Pulau Jawa ke Suriname. Kedudukan Suriname dan Indonesia pada waktu itu, adalah sama-sama Negara Jajahan di bawah Pemerintah Kerajaan Belanda.

Maksud dan tujuan pengiriman tenaga kerja itu adalah untuk menambah kekurangan tenaga kerja di beberapa perkebunan yang ada di Suriname. Kekurangan tenaga kerja itu sendiri adalah akibat dihapus dan dibebaskannya sistem perbudakan pada tanggal 1 Juli 1863. Dampaknya, banyak perkebunan tidak terurus, sehingga terlantar. Perekonomian Suriname yang semula tergantung dari hasil perkebunan, turun drastis.

Pertimbangan lain dari Pemerintah Kerajaan Belanda yang mengirimkan tenaga kerja ke Suriname saat itu adalah karena rendahnya perekonomian penduduk di pulau Jawa, yang disebabkan oleh bencana alam meletusnya gunung berapi dan padatnya jumlah penduduk. Akan tetapi menurut disertasi Prof. DR. Yusuf Ismail di Universitas Leiden di Belanda tahun 1949 menyatakan: Bukan kelebihan penduduk yang menjadi alasan untuk beremigrasi ke Suriname, melainkan kemelaratan yang sangat, yang diderita penduduk dibeberapa daerah di Jawa pada satu pihak dan kepentingan perkebunan-perkebunan di Suriname pada lain pihak. Oleh karenanya, maka kebanyakan para tenaga kerja itu berasal dari Jawa Tengah, ada juga dari Jawa Timur dan yang paling sedikit dari Jawa Barat.

Step On The First Foot

Gelombang pertama pengiriman tenaga kerja itu diberangkatkan dari Batavia (Jakarta) pada tanggal 21 Mei 1890 dengan kapal SS Koningin Emma.

Setelah singgah di Negeri Belanda, akhirnya kapal tiba di Suriname pada tanggal 9 Agustus 1890. Oleh sebagian masyarakat Indonesia baik yang sekarang masih tinggal di Suriname maupun yang tinggal di Negeri Belanda, selalu mengenang dan memperingati tanggal 9 Agustus sebagai suatu tanggal yang sangat bersejarah.

Tenaga kerja gelombang pertama sebanyak 94 orang, terdiri dari 61 orang pria, 31 orang wanita dan dua orang anak dan ditempatkan di perkebunan tebu dan pabrik gula Marienburg. Tenaga kerja gelombang kedua sebanyak 582 orang, tiba di Suriname pada tanggal 16 Juni 1894 dengan kapal SS Voorwaarts. Karena muatan kapal kedua ini melebihi kapasitas, menyebabkan kapal tidak memenuhi syarat sebagai kapal angkut personil.

Akibatnya 64 orang penumpang kapal meninggal dunia dan 85 orang harus dirawat di rumah sakit, setelah kapal tiba di pelabuhan Paramaribo, Suriname. Kejadian yang menyedihkan ini tidak ada tanggapan dari Pemerintah Belanda, bahkan begitu saja dilupakan. Mungkin Pemerintah Kerajaan Belanda beranggapan bahwa yang meninggal itu hanya para pekerja miskin, sehingga tidak perlu ada tindakan apa-apa. Meskipun demikian, pengiriman tenaga kerja ini berjalan terus sepanjang tahun sampai dengan pengiriman terakhir sebanyak 990 orang yang tiba di Suriname pada tanggal 13 Desember 1939.

Dari tahun 1890 hingga 1914, rute pelayaran ke Suriname selalu singgah di Negeri Belanda, selebihnya tidak. Pengiriman para tenaga kerja itu menggunakan 77 buah kapal laut, dilaksanakan oleh Perusahaan Pelayaran Swasta, De Nederlandsche Handel Maatschappij. Tetapi sejak tahun 1897 pengiriman tenaga kerja dilaksanakan sendiri oleh Pemerintah Hindia Belanda.


Ternyata program pengiriman tenaga kerja ke Suriname ini, telah mengurangi kepadatan penduduk di Pulau Jawa. Atas dasar itu maka pada bulan November 1905 Pemerintah Kerajaan Belanda memindahkan 155 kepala keluarga (KK) asal Pulau Jawa (dari Keresidenan Kedu, yaitu dari Kabupaten Karanganyar, Kebumen dan Purworejo ke daerah Gedong Tataan di Keresidenan Lampung, Sumatera Selatan Ini adalah awal mula Sejarah Transmigrasi di Indonesia pada zaman Belanda dengan nama Kolon
isasi.

Pada waktu itu di Suriname sudah ada tenaga kerja yaitu orang-orang Creole asal Afrika yang dibawa ke Suriname pada awal abad 16 sebagai budak belian. Kemudian datang orang-orang Tionghoa yang dibawa ke Suriname pada tahun 1853 dan orang-orang Hindustan asal Calcuta, India yang tiba di Suriname pada tanggal 04 Juni 1873. Orang-orang Creole asal Afrika yang tidak tahan bekerja sebagai budak, banyak yang melarikan diri ke dalam hutan, sehingga ada Creole Kota dan Creole Hutan. Semula Creole Hutan ini disebut “Djoeka” tetapi sekarang mereka telah menamakan diri suku Marron dan jumlahnya menempati urut No.3 setelah orang-orang Creole dan Hindustan.

Sampai dengan tahun 1930 para TKI itu dipekerjakan di perkebunan tebu, cacao (coklat), kopi dan pertambangan bauxite di bawah Poenale Sanctie. Sesudah tahun itu mereka bekerja sebagai buruh merdeka, tetapi faktanya masih harus bekerja dengan syarat-syarat Poenale Sanctie.

Gaji yang diterima oleh pekerja laki-laki usia diatas 16 tahun sebesar 60 sen sehari dan pekerja wanita usia diatas 10 tahun sebesar 40 sen sehari. Berdasarkan perjanjian, para tenaga kerja itu harus bekerja (kontrak) selama 5 tahun. Dengan ketentuan, mereka harus bekerja selama 6 hari dalam satu minggu. Setiap hari harus bekerja selama 8 jam di perkebunan atau 10 jam di pabrik. Setelah masa kontrak berakhir, mereka diberi hak untuk pulang kembali ke Indonesia atas biaya Pemerintah Belanda.

Menurut catatan, antara tahun 1890 dan 1939 sebanyak 8.130 orang TKI telah menggunakan haknya kembali ke Indonesia, yaitu:

  • Tahun 1897 sebanyak 18 orang, terdiri dari 08 orang pria, 08 orang wanita dan 02 orang anak.

  • Tahun 1900 sebanyak 36 orang, terdiri dari 18 orang pria, 13 orang wanita dan 05 orang anak.

  • Tahun 1903 sebanyak 99 orang, terdiri dari 61 orang pria, 27 orang wanita dan 11 orang anak.

  • Tahun 1904 sebanyak 137 orang, terdiri dari 84 orang pria, 39 orang wanita dan 14 orang anak.

  • Tahun 1905 sebanyak 149 orang, terdiri dari 94 orang pria, 34 orang wanita dan 21 orang anak.

  • Tahun 1906 sebanyak 339 orang, terdiri dari 230 orang pria, 69 orang wanita dan 40 orang anak.

  • Tahun 1907 sebanyak 200 orang, terdiri dari 139 orang pria, 42 orang wanita dan 19 orang anak.

  • Tahun 1908 sebanyak 217 orang, terdiri dari 144 orang pria, 49 orang wanita dan 24 orang anak.

  • Tahun 1909 sebanyak 219 orang, terdiri dari 124 orang pria, 62 orang wanita dan 33 orang anak.

  • Tahun 1910 sebanyak 223 orang, terdiri dari 138 orang pria, 53 orang wanita dan 32 orang anak.

  • Tahun 1912 sebanyak 413 orang, terdiri dari 235 orang pria, 118 orang wanita dan 60 orang anak.

  • Tahun 1914 sebanyak 395 orang, terdiri dari 235 orang pria, 112 orang wanita dan 49 orang anak.

  • Tahun 1920 sebanyak 338 orang, terdiri dari 218 orang pria, 96 orang wanita dan 24 orang anak.

  • Tahun 1923 sebanyak 205 orang, terdiri dari 138 orang pria, 60 orang wanita dan 07 orang anak.

  • Tahun 1928 sebanyak 657 orang, terdiri dari 310 orang pria, 260 orang wanita dan 87 orang anak.

  • Tahun 1929 sebanyak 452 orang, terdiri dari 246 orang pria, 162 orang wanita dan 44 orang anak.

  • Tahun 1930 sebanyak 607 orang, terdiri dari 343 orang pria, 190 orang wanita dan 74 orang anak.

  • Tahun 1931 sebanyak 667 orang, terdiri dari 333 orang pria, 224 orang wanita dan 110 orang anak.

  • Tahun 1935 sebanyak 893 orang, terdiri dari 398 orang pria, 319 orang wanita dan 176 orang anak.

  • Tahun 1936 sebanyak 556 orang, terdiri dari 249 orang pria, 199 orang wanita dan 108 orang anak

  • Tahun 1937 sebanyak 422 orang, terdiri dari 203 orang pria, 138 orang wanita dan 81 orang anak.

  • Tahun 1938 sebanyak 442 orang, terdiri dari 220 orang pria, 146 orang wanita dan 89 orang anak.

  • Tahun 1939 sebanyak 446 orang, terdiri dari 216 orang pria, 144 orang wanita dan 86 orang anak.

Pada tahun 1947 terjadi lagi gelombang Repatriasi berikutnya sekitar 700 orang, menggunakan kapal Tabian. Selebihnya memilih tetap tinggal di Suriname, walaupun hubungan kerja kontrak dengan para pemilik perkebunan sudah berakhir. Mereka yang memilih tetap tinggal di Suriname, dan tidak ingin pulang ke Indonesia, memperoleh pembagian sebidang tanah garapan serta menerima penggantian uang Repatrasi sebesar 100 gulden Suriname per orang. Pada masa kejayaan perkebunan tebu mulai merosot, banyak pekerja Indonesia yang beralih profesi menjadi pekerja pertambangan bauxit di Moengo, Paranam dan Biliton. Akibatnya beberapa daerah yang semula dikenal sebagai “district orang-orang Jawa” yang bertani dan bercocok tanam, antara lain di district Commewijne, Saramacca, Coronie dan Nickerie, terasa semakin berkurang jumlahnya.

Looking For Traces

Suriname adalah sebuah negara dengan luas sekitar 163.265 kilometer persegi yang berada di Amerika Selatan. Alih-alih menggunakan bahasa Belanda, penduduk Surinema menggunakan bahasa Jawa untuk berkomunikasi sehari-hari.

Bahkan warga negara Suriname sebanyak 15 persen dari total penduduk asli yakni 590.855 jiwa merupakan penduduk dengan etnis Jawa. Meskipun bahasa Jawa sudah menjadi bahasa sehari-hari warga sana, tapi bahasa nasional di Suriname adalah bahasa Belanda.

Suriname adalah sebuah negara dengan luas sekitar 163.265 kilometer persegi yang berada di Amerika Selatan. Alih-alih menggunakan bahasa Belanda, penduduk Surinema menggunakan bahasa Jawa untuk berkomunikasi sehari-hari.

Bahkan warga negara Suriname sebanyak 15 persen dari total penduduk asli yakni 590.855 jiwa merupakan penduduk dengan etnis Jawa. Meskipun bahasa Jawa sudah menjadi bahasa sehari-hari warga sana, tapi bahasa nasional di Suriname adalah bahasa Belanda.

Suriname merupakan Negara Republik yang terletak di benua Amerika, tepatnya di Amerika Selatan. Suriname sudah ada dan dikenal sejak abad ke-15.

Melansir dari Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) pada Selasa (21/11/2023),

Suriname merupakan tanah jajahan Belanda yang memeroleh kemerdekaan pada 25 November 1975. Selain itu, Suriname juga pernah dijajah oleh Spanyol, Inggris, Perancis, hingga Portugal.

Saat itu bangsa Eropa berlomba-lomba untuk menguasai Guyana yang merupakan nama awal Suriname. Wilayah Suriname merupakan suatu dataran luas yang letaknya di antara Samudera Atlantik, Sungai Amazon, Rio Negro, Cassiquiare dan Orinocco.

Mulanya dataran luas itu diberi nama Guyana Karibana oleh para kartografi. Arti Guyana adalah dataran luas yang dialiri banyak sungai. Karibania berasal dari kata Caribs yang merupakan nama penduduk pertama.

Suriname berbatasan dengan Guyana Perancis di sebelah timur dan Guyana di sebelah barat. Di sebelah selatan berbatasan dengan Brazil dan Samudera Atlantik di sebelah Utara.

Ratusan orang Jawa yang diangkut ke Benua Amerika bagian selatan pada tahun 1880-an kini mengisi 15 persen komposisi penduduk Suriname. Orang-orang Jawa di sana masih memegang teguh tradisi, dari nama hingga upacara kematian.

Suku Jawa yang berada di Suriname merupakan generasi penerus orang-orang Jawa yang diangkut ke negara benua Amerika pada saat penjajahan Belanda. Angkatan pertama, sebanyak 94 orang Jawa diangkut ke Suriname pada 21 Mei 1890 dengan kapal SS Koningin Emma.

Sesampai di Suriname, orang-orang Jawa yang berasal dari kuli kontrak itu tak ingin lepas dari leluhur mereka. Cara yang dianggap menjadi jalan untuk mempertahankan jawanya itu hanyalah dengan mempertahankan tradisi.

Tradisi yang mereka pertahankan diantaranya adalah shalat dengan menghadap kiblat ke arah barat (islam madep ngulon) seperti saat mereka masih berada di Jawa. Hal ini juga memunculkan agama Javanisme yang ingin membersihkan tradisi Jawa dari Islam.

Orang Jawa di Suriname mempertahankan ritual Jawa, bahkan yang di Indonesia tradisi Jawa itu mulai ditinggalkan. Seorang penulis buku travel, Agustinus Wibowo melakukan riset tentang nasionalisme diaspora dan tinggal selama dua bulan di Suriname.

Dia menceritakan kisah tentang budaya Jawa di sana. Di Suriname, Agustinus mengatakan bahwa dia melihat ritual agama Javanisme, salah satunya selametan.

Agustinus juga menyebut budaya Jawa di Suriname juga sempat mulai hilang pada tahun 1970-an hingga 1080-an. Keturunan Jawa saat itu mulai berpikiran andai ingin sukses caranya dengan hidup dan belajar Bahasa Belanda.

Dengan hal ini, pada periode itu mulai banyak keturunan Jawa yang tidak bisa berbahasa Jawa. Tapi kemudian muncul upaya untuk melestarikannya lagi, mulai dari tradisi kembar mayang untuk pengantin, luluran, sampai pada ritual prosesi kematian.

Javanese language

Suriname bisa berbahasa Jawa.

Bahasa Belanda merupakan bahasa resmi Suriname, namun sejauh mana anggota dari berbagai kelompok etnis dapat menggunakan bahasa tersebut berbeda-beda. Sebagian besar penduduk belajar bahasa Belanda sebagai bahasa kedua.

Bahasa tambahan termasuk Sranan dan bahasa kreol lainnya. Bahasa inggris, Sarnami, yang berasal dari bahasa Hindi dan Urdu, Jawa dan sejumlah bahasa Maroon dan Indian Amerika Selatan. Masyarakat Suriname bisa menggunakan bahasa Jawa lantaran pada zaman penjajahan dulu, Belanda membawa orang-orang Jawa dari Indonesia ke Suriname untuk dipekerjakan.

Seiring waktu, kultur Jawa mulai menyatu di Suriname. Hal ini yang membuat masyarakat Suriname bisa berbahasa Jawa.

CULTURE

Meskipun orang-orang Indonesia ini telah lebih dari 100 tahun tinggal di Suriname, kenyataannya mereka masih memiliki adat dan kebiasaan seperti di Pulau Jawa, antara lain masih ditemukan pesta tayuban, wayang kulit, wayang orang, ludruk, tarian jaran kepang, dll. Di District tertentu yang sebagian besar penduduknya orang-orang Indonesia, “suasana Jawa” masih terasa kental.

Relations between two countries

Hubungan Indonesia dan Suriname memiliki beberapa hal, di antaranya:
  • Sejarah bersama

    Indonesia dan Suriname memiliki hubungan istimewa karena sama-sama pernah menjadi koloni Kekaisaran Belanda.

  • Migrasi penduduk Jawa

    Banyak orang Jawa yang bermigrasi ke Suriname untuk bekerja di perkebunan pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.

  • Hubungan diplomatik

    Hubungan diplomatik Indonesia dan Suriname dimulai pada Agustus 1951, ketika Suriname masih berada di bawah penjajahan Belanda. Indonesia membuka kembali perwakilannya di Suriname pada 1964, setelah hubungan Indonesia dan Belanda merenggang. Indonesia dan Suriname menandatangani perjanjian diplomatik pada 24 Januari 1976.

  • Kedutaan besar

    Indonesia memiliki kedutaan besar di Paramaribo, sedangkan Suriname memiliki kedutaan besar di Jakarta.

  • Kerja sama

    Indonesia dan Suriname melakukan kerja sama dalam berbagai bidang, di antaranya:

    • Pendirian Rumah Budaya Indonesia di Suriname

    • Kerja sama pendidikan dalam bidang diplomatik

    • Pembaruan kerja sama sister city, yaitu kota Bantul-Paramaribo dan Yogyakarta-Commewijne

    • Perlindungan lingkungan pesisir dan rehabilitasi mangrove

  • Keanggotaan

    Indonesia dan Suriname merupakan anggota Organisasi Perdagangan Dunia dan Forum Kerjasama Asia Timur-Amerika Latin.

DRAFT
movie concept

background

Film bercerita tentang....

Vision and mission

Dalam upaya

premise

synopsis

character

production

post production